Profesor Didin Blak-blakan Soal Oligarki Kendalikan Politik di 2022-2024

EKISNEWS – Kontrol oligarki ekonomi di tahun politik 2022 hingga 2024 ditengarai semakin mengendalikan politik. Terciptanya koalisi ‘super gemuk’ di DPR dan kabinet menjadi indikator utama.

“Proses check and balance pun enggak jalan, proses legislasi mengabaikan lembaga hukum dan partisipasi publik,” kata Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Prof Didin S Damanhuri dalam sebuah diskusi daring yang dipantau di Jakarta, baru-baru ini.

Ia membeberkan beberapa undang-undang (UU) yang ditengarainya mengabaikan lembaga hukum dan partisipasi publik dalam proses legislasinya. Salah satunya adalah UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Bacaan Lainnya

Begitu juga dengan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Cipta Kerja atau Ciptaker, UU Mahkamah Konstitusi, UU Ibu Kota Nusantara, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP dan terakhir Perppu Ciptaker.

Kendali oligarki, kata dia, juga terlihat dari kasus minyak goreng, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Komisi Pemilihan Umum atau KPU yang penuh rekayasa dan kontroversi kasus Partai Umat, dugaan pencapresan, KPU yang mau mengubah sistem Pemilu dan tanpa kosultasi terlebih dahulu ke DPR dan lain-lain.

Hal serupa juga terkait adanya upaya jabatan presiden tiga periode dan penundaan Pemilu 2024. “Tidak heran Index Demokrasi Indonesia menurut The Economic Intellegence Unit terus merosot sejak 2016,” ucapnya.

Dengan makin ofensifnya oligarki ekonomi pada gilirannya semakin menjauhkan proses transisi demokrasi politik menuju demokrasi substantif.

“Untuk itu dibutuhkan reformasi mendasar sistem polilik yang dapat menjamin tercapainya demokrasi ekonomi. Ini Karena suburnya Oligarki ekonomi di Era Reformasi, karena dibiarkannya para oligarki ekonomi menjadi ‘investor politik’ di semua tingkatan pemilu,” papar Prof Didin.

Dia menegaskan, di Era Refomasi, prosedur demokrasi politik berjalan tapi oligarki ekonomi mngendalikan politik. Sebab, substansi demokrasi (ekonomi dan politik) tidak jalan. “Dampaknya ketimpangan makin buruk,” ucapnya.

Kondisi itu, sambung dia terlihat dari rasio Gini pengeluaran rata-rata masyarakat Indonesia sekitar 0,39. Di lain sisi, penguasaan aset oleh oligarki ekonomi dibandingkan mayoritas penduduk, menurut Credit Suisse, sangat timpang.

Lihat saja, empat orang terkaya di Indonesia sama dengan 100 juta penduduk. Artinya, satu persen orang terkaya sama dengan 46,6% Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan jika menghitung 10 persen orang terkaya, sama dengan 75,3% PDB.

Lebih tajam lagi, kata dia, kalau diukur berdasarkan Index Oligarki alias Material Power Index ala Jeffrey Winter (2011). Jumlah 40 orang terkaya rata-rata dibagi pendapatan per kapita.

  • 2014 = 678 ribu kali
  • 2018 = 750 ribu kali
  • 2020 = 822 ribu kali
  • 2022 = 1.06.500 kali (Khusus 2022 dihitung dari data Forbes).

Lebih jauh Prof Didin menjelaskan, pada tahun 1950-an, oligarki ekonomi menggagalkan ‘politik benteng’ dan demokrasi parlementer. “Pemerintahan pun jatuh bangun dan demokrasi gagal mensejahterakan rakyat,” ucapnya.

Sementara pada Era Orde Baru, oligarki ekonomi dikontrol oleh mendiang Presiden Soeharto yang otoriter alias tidak demokratis.

Meski menurut PDB Indonesia saat itu, sebanyak 200 konglomerat menguasai 62 persen PDB, tidak sampai mendikte politik. “Orba berhasil dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang terjangkau dan stabil serta perekonomian relatif merata dengan rasio Gini penmgeluaran rata-rata 0,32,” imbuh Profesor Didin.

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News

Pos terkait