All You Can Eat, Bagaimana Tuntunan Syariahnya?

OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ustaz mau tanya tentang layanan resto dengan model all you can eat. Pelanggan bisa makan sepuasnya, tapi diberi waktu tertentu saat memakannya. Bagaimana pandangan fikih terkait hal tersebut Ustaz? Terima kasih. –Zahra, Depok

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Sesungguhnya makan di resto all you can eat itu diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.

Bacaan Lainnya

(1) Makanan atau minuman dan menu lainnya yang dibelinya itu halal. Oleh karena itu, pastikan resto yang menjual menu (makanan, minuman, dan menu lainnya) itu legal dengan menu yang bersertifikat halal dari otoritas.

Misalnya, sebelum booking resto all you can eat, pastikan resto yang dituju itu legal dengan menu yang bersertifikat halal. Seperti dengan mengunjungi situs otoritas dan referensi sejenis untuk mengetahui apakah resto dan menu-menu yang dijual itu halal atau tidak.

(2) Disepakati. Beberapa hak para pihak yang direlakan dan beberapa hal yang bukan kelaziman perlu disepakati, maka seluruh ketentuan all you can eat itu harus tersampaikan kepada para customer sebelum mereka ijab kabul atau membeli atau booking all you can eat tersebut.

Misalnya, di antara hal-hal yang harus disepakati di awal adalah harga, di mana masing-masing dibatasi waktu makannya dan jenis makanannya seperti untuk harga sekian maka yang boleh di area tertentu atau harga untuk usia tertentu dan tidak berlaku untuk usia yang lain, maka itu juga harus tersampaikan dan disepakati.

(3) Alat bayarnya sesuai syariah, seperti saat menggunakan kartu debit, maka kartu debit bank syariah. Dan saat menggunakan QRIS, maka QRIS bank syariah menjadi pilihan.

(4) Iringi kunjungan ke resto all you can eat dalam momentum yang baik, seperti makan bersama keluarga, bersama kedua orang tua, atau bersama kolega, dan momentum lainnya yang positif dan baik sehingga bernilai penghormatan terhadap sahabat, membahagiakan orang lain, dan memberikan sugesti terhadap pihak lain.

(5) Penuhi adab-adab saat makan, di antaranya tidak berlebihan dan adab lainnya.

Kesimpulan tersebut didasarkan pada:

(a) Karena jual beli dengan model all you can eat tidak hanya terkait dengan boleh atau tidaknya membeli menu yang harganya pasti tetapi volume atau besaran/jumlah menu tidak pasti, hanya diukur dengan durasi konsumsinya.

Tetapi juga terkait hal-hal lain seperti alat bayar yang digunakan customer, resto yang menjual makanan tersebut, dan hal-hal lainnya.

(b) Ada beberapa praktik transaksi, pada masa Rasulullah SAW di mana objek yang dibeli itu tidak terukur atau tidak diketahui jumlah dan takarannya. Transaksi tersebut dikenal dengan jual beli jizaf.

Menurut sebagian ulama seperti Malikiyah dengan syarat-syaratnya itu diperbolehkan sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Dari Ibnu Umar bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali sehingga ia memilikinya secara sempurna.’ Ibnu Umar berkata, ‘Kami pernah membeli makanan langsung dari rombongan dagang secara acak (tanpa ditakar), maka setelah itu Rasulullah SAW melarang kami menjualnya hingga bahan makanan tersebut dipindahkan dari tempat pembelian’.” (HR Muslim).

(c) Karena tidak setiap gharar itu dilarang, tetapi jika kadar ghararnya ringan itu diperbolehkan sebagaimana ditegaskan dalam standar AAOIFI.

“Gharar yang ringan adalah gharar yang tidak bisa dihindarkan dalam setiap perjanjian dan tidak mengakibatkan konflik. Oleh karena itu, gharar tersebut tidak berpengaruh terhadap (kehalalan) akad.” (Standar Syariah AAOIFI No 31 tentang Gharar).

Saat seseorang sudah membayar bentuk durasi 1 jam dengan jenis makanan dan menu tidak dijelaskan, tidak diketahui, tidak ter-input tetapi sudah maklum bahwa yang akan dimasuki itu tidak akan melebihi batas maksimum sesuai dengan kelaziman atau keumuman rata-rata para customer, maka ketidakpastian tersebut termasuk dalam kategori gharar yang ringan.

Ihwal beberapa ketentuan khas terkait all you can eat seperti jumlah menu makanan yang belum ditentukan dalam kesepakatan tetapi tak terbatas dalam durasi tertentu itu dibolehkan merujuk kepada kelaziman dan pengertian gharar bahwa itu gharar ringan yang ditolerir dan dibolehkan (bukan gharar berat).

(d) Self service. Jika sudah diketahui dan disepakati bahwa resto dengan self service di mana para pembeli/customer itu mengambil makanan sendiri, maka itu dibolehkan dan tidak ada hak bagi customer untuk dilayani karena yang diberlakukan itu sesuatu yang mubah pada saat disepakati menjadi mengikat. Atau karena customer merelakan diri untuk melakukan sesuatu yang menjadi haknya dan disepakati, maka menjadi mengikat.

Wallahu a’lam.

Sumber: republika

Pos terkait